Mahkota Indah yang Disegerakan versi Ridho Setiawan's Blog
Memasuki
liburan syawal, berbagai kegiatan
menyambut libur panjang digelar. Mulai dari lomba Berpidato, Tahfidzul Qur’an,
hingga perlombaan membaca haditspun di selenggarakan. Hari ini juga bertepatan
dengan hari di wisudanya para hafiz dan hafizhah Qur’an.
Flashback
on.
dek...dek.. dek...
Bunyi
detak jantung Azzam berdetak begitu cepat beriringan dengan gerak tangan dan
kaki yang begitu cepat. Nampak dari kejauhan rombongan masa menjerit
“maling....maling...maling..” sembari berlari mengejar Azzam yang melarikan
diri.
Ia
terus berlari menyusuri gang demi gang kecil untuk mencari tempat persembunyian
yang aman dan tepat. Namun naasnya, ia memasuki salah satu dari gang yang
merupakan gang buntu.
Huh..huh..huh.
Bunyi
nafas Azzam tak beraturan, di sertai gerakan bahu yang naik dan turun, sembari
melihat kesekelilingnya. Ia bingung hendak bersembunyi dimana, sementara di
daerah itu hanya ada beberapa rumah warga dan satu Pondok Pesantren Tahfidzul
Qur’an.
Mendengar
suara masa yang semakin dekat, akhirnya Azzam memutuskan untuk memasuki area
Pondok Pesantren dan bersembunyi di dalamnya.
Saat
sedang sembunyi, tiba – tiba ada yang memegang pundaknya sambil berkata “mas...
mas... “ sedang apa disini?. Azzam dengan ekspresi kaget kemudian memutarkan
kepalanya, lalu menjawab “sedang bersembunyi pak ustad”.
Akhirnya
pak ustadpun mengajaknya untuk memasuki kantor dan mengarahkan ia untuk beristirahat dan menetap di pondok
tersebut.
Hari
pertama di pondok pesantren tampak begitu asing baginya, tak pernah sedikitpun
ia membayangkan bagaimana situasi pondok pesantren dengan segala aktivitas yang
ada di dalamnya. ia hanya melihat kesana dan kemari, tanpa tujuan yang jelas.
Di
hari kedua, ia mulai mendaftarkan diri kepada ustad untuk belajar ilmu agama di
pondok pesantren tersebut. Ia mulai belajar mengenal tajwid dan tempat
keluarnya huruf. Ia juga mulai mengikuti aktivitas yang ada di pondok
pesantren, seperti : sholat berjama’ah,
tilawah al-qur’an, bersih - bersih lingkungan dan silaturahim dengan
masyarakat.
Seminggu
berada di pondok pesantren sudah cukup membuat Azzam terbiasa dengan aktivitas
di dalamnya. Ia juga sudah memiliki teman yang senantiasa mensuport setiap
keinginannya, termasuk keinginannya untuk menghafalkan Qur’an.
Setiap
dini hari ia terbangun untuk melaksanakan ibadah malamnya kemudian membangunkan
santri yang lain, lalu melanjutkan aktivitasnya untuk menghafal Qur’an.
Di
pagi hari, setelah shalat fajar, ia menyetorkan hafalan kepada ustad
Ibadurrahman yang merupakan pembina Pondok Pesantren Tersebut. 10 ayat, 20
ayat, 50 ayat, hingga 1 juz ia setorkan setiap hari.
Begitulah
setiap harinya aktivitas yang dilakukan oleh Azzam, pagi dan dini hari ia
gunakan untuk menghafal qur’an, siang ia gunakan untuk mengabdi kepada
masyarakat, dan malam ia gunakan untuk mempelajari ilmu fiqih dan bahasa arab.
Atas izin Allah Subhanahu wata’ala
tidak terasa, Azzam mampu menghafalkan
Al-Qur’an dalam waktu 12 bulan.
Flashback Off
Zam...
Zam...!! samar - samar aku mendengar ada suara yang memanggil dan membuyarkan
lamunanku.
“zam,
tunggu dulu zam” Ahmad datang dengan nafas yang tidak beraturan.
Aku
kemudian berbalik arah, “oh antum akh, ada apa akh?”.
“antum
di panggil ustad Ibadurrahman akh” jawab Ahmad.
“oh..
iya, Jazakallah akhi”
Azzam
kemudian melangkahkan kaki menuju kantor Ustad. Sudah dua tahun ia tidak pernah
bertemu dengan sanak family, tanpa ada kabar sedikit pun. Azzam dalam
keseharian menyibukkan diri untuk menghafal Al-Qur’an saat temen-temen yang
lain di jenguk oleh orang tuanya.
Aku
kemudian naik keatas lantai dua untuk menemui Ustad Ibadurrahman, kemudian sungkem (mencium tangan) dan memeluknya.
Menangis penuh haru dan meminta maaf atas segala salah kata selama di pondok
pesantren.
Aku
semakin terisak, kemudian ustad Ibadurrahman menenangkanku:
“Mas,
jangan lupa amalkan ilmu yang kamu dapatkan disini”
“In
syaa Allah ustad, mohon doakan Azzam,”
“Semoga
Allah menjagamu nak”
Aku
kemudian memeluk ustad Ibadurrahman untuk kedua kalinya, untuk izin pulang ke
kampung halaman.
Di
malam hari, saat aku murojaah hafalan Qur’anku, aku tertidur namun bibir ini
tetap mengucapkan kalimatullah. Saat itu... aku bermimpi, ada seseorang ibu dan
ayah yang ditarik dengan rantai kedalam neraka, dicambuuk, dan dipukul. Saat
itu ibu dan bapak itu melambai-lambai kearahku, seolah meminta tlong kepadaku.
Keringatku
menetes begitu hebat, ditambah nafas yang tak beraturan. Aku terbangun, saat
itu aku lidahku tengah melafalkan Qur’an tentang penghuni neraka jahannam. Aku
teringat dengan ibu dan ayah, yang tidak mengenalkanku dengan agama. Aku
menangis dan berdoa semoga Allah mengampuni dosa kedua orang tuaku.
Esok
pagi, setelah murojaah, Azzam pamit kepada ustad Ibadurrahman, untuk pulang
kampung. Di dalam perjalanan, ia beristighfar kepada Allah atas segala khilaf
dan dosa yang selalu ia perbuat, mendoakan kedua orang tua agar Allah ampuni
segala dosanya.
Sesampainya
di kampung halaman, ia temui kampung halamannya sudah menjadi ladang sawah. Ia
bergegas menuju rumahnya, namun yang ia temui hanyalah ladang sawah yang subur.
Tercengang
dengan kejadian itu, Azzam bertanya kepada petani yang sedang membersihkan
sawah.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah”
“Mohon
maaf pak, perkampungan yang disini dulu dimana ya?”
“Maaf
mas, dulu perkampungan ini sering maksiat, sehingga Allah datangkan banjir dan
semua penduduk yang ada dikampung ini meninggal dunia”.
Mendengar
hal itu, pemuda tadi menangis dan beristighfar, ternyata yang dimimpinya adalah
kedua orang tuanya, yang tidak pernah beribadah kepada Allah.
Ia
bersyukur, atas karunia Allah yang diberikan kepadanya, sehingga ia bisa
menyiapkan satu mahkota keindahan untuk kedua orang tuanya, mahkota kemulian
yang tiada ada duanya.
Selepas
itu, ia mengamalkan segala ilmu yang didapatkan di pondok tersebut, kemudian
mendirikan pondok pesantren tahfidzul Qur’an, dan merubah lingkungan yang penuh
maksiat menjadi penuh taat.
-the
end-
nice
ReplyDeleteayo menulis kang
ReplyDelete